Abuumarfauzy's Blog

Just another WordPress.com weblog

Artikel Islam

Berpegang Teguh dengan Sunnah Nabi, Solusi Problematika Ummat

Sesungguhnya tidak tersamar bagi seorang muslim yang hidup di muka bumi saat ini, apa yang sedang diderita ummat Islam berupa kelemahan, kekacauan di setiap aspek kehidupannya, baik aspek politik maupun ekonomi dan dalam bidang-bidang yang lainnya. Dan orang-orang yang selalu berusaha berbuat kebaikan sudah sejak lama telah memperingatkan akan kelemahan ini. Maka mereka mulai berusaha menganalisa dan membatasi persoalan tersebut, terutama penyembuhan dan pemberantasannya sampai ke akar-akarnya.

Namun sayang, jalan-jalan yang mereka tempuh bercerai-berai, ketika menentukan obatnya dan ketika berusaha menghilangkan penyakit sampai ke akar-akarnya. Hal ini disebabkan oleh beraneka ragamnya manhaj-manhaj mereka dan bermacam-macamnya firqah dan aliran mereka.

Tidak diragukan lagi, bahwa yang menimpa kaum muslimin tersebut tiada lain disebabkan oleh jauhnya mereka dari agamanya. Dan tenggelamnya mereka ke dalam nafsu syahwat yang diharamkan. Karena permasalahannya seperti itu dan memang demikian adanya, sesungguhnya Rasulullah telah menjelaskan kepada kita penyakit tersebut dan telah memberitahukan pula apa obatnya serta tidak meninggalkan peluang -bagi orang yang masih punya akal- untuk munculnya perselisihan dan pertentangan.

Al-Imam Abu Daud telah mengeluarkan dalam Sunan-nya (3/740) dan lainnya, dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda, yang artinya:

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah (riba) dan kalian telah memegang ekor-ekor sapi (kiasan untuk kekuasaan yang zhalim), serta kalian lebih cinta (ridha) kepada pertanian (dunia) dan kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kerendahan, tidak akan dicabut kerendahan itu sampai kalian mau kembali kepada agama kalian”.

Maka satu-satunya jalan keluar dari kerendahan dan kehinaan ini adalah dengan kembali kepada syari’at Allah Ta’ala, beramal dengannya. Dan hal ini telah disaksikan oleh Al-Qur`an di banyak tempat.

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertaqwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur`an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (Al-Ma`idah:65-66).

Begitu jelas dan gamblang permasalahan ini. Ternyata masih ada manusia yang menisbatkan diri mereka kepada “dakwah”, namun berpaling dari ketundukan kepada ketentuan yang terang benderang ini. Mereka lebih menyukai pemecahan masalah dengan yang dihasilkan oleh akal-akal mereka yang dangkal dan pendapat mereka yang tidak laku (hina). Kemudian mereka mencari perbaikan keadaan kaum muslimin dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dan tidak pula oleh Rasulullah. Hasil dari usaha yang mereka lakukan itu tiada lain adalah kerugian. Akhir langkah mereka adalah bencana. Allah Ta’ala tidak akan memperbaiki perbuatan orang-orang yang berbuat kerusakan.

Di hadapan langkah yang mereka lakukan, ada para pengemban dakwah yang tersebar di atas bendera sunnah yang suci dan petunjuk nabawi. Mereka memperhatikan “sunnah-sunnah” dan bersemangat untuk mempraktekkannya dalam segala hal. [Perlu diperhatikan di sini, bahwa yang dimaksudkan dengan “sunnah” pada kalimat ini dan setelahnya adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi baik perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat jasmani dan rohani atau riwayat sejarah kehidupannya setelah kenabian dan terkadang masuk juga sebagian perkara sebelum kenabian; atau secara singkatnya “sunnah” adalah jalan dan petunjuk Nabi, baik menyangkut ‘aqidah, amalan, akhlaq atau sifat jasmani dan rohani beliau; atau “sunnah” adalah syari’at Islam itu sendiri yang mencakup Al-Qur`an dan Al-Hadits; “sunnah” adalah bukan seperti yang difahami kebanyakan orang yang mengartikan sunnah sebagai sesuatu yang selain wajib, berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa bila ditinggalkan].

Kesimpulan dan inti dari permasalahan di atas adalah wajibnya mementingkan sunnah yang tsabit dari Rasulullah dengan mempelajari, mengajarkan dan mengarahkan kepadanya.

Bahwa bercokolnya kelemahan tersebut -sebagaimana dijelaskan di atas- pada kita, hanyalah datang dari para pemberani yang jauh dari ajaran agama Allah, kewajiban dan sunnahnya. Maka jalan yang benar untuk terlepas dari kelemahan ini adalah kembali kepada agama kita dan bersemangat untuk mengamalkan serta berdakwah kepadanya secara keseluruhan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah:208).

Al-Alusi dalam Tafsirnya (Ruhul Ma’ani II/97) berkata: “Maknanya (ayat tersebut) adalah: “Masuklah kalian ke dalam Islam dengan totalitas kalian dan janganlah kalian tinggalkan sedikitpun dari lahir dan bathin kalian, kecuali Islam sudah memasukinya, sehingga tidak ada tempat untuk selain Islam.”

Semua yang disyari’atkan Allah dalam kitab-Nya serta yang disampaikan Rasul-Nya dalam sunnah-sunnahnya tidak diperkenankan bagi seorangpun untuk menganggapnya kecil dengan alasan apapun, bahkan wajib berpegang teguh dengan Islam secara keseluruhannya. Maka permasalahan yang merupakan kewajiban, haram untuk ditinggalkan dan perkara yang dinyatakan sebagai mandub atau mustahab, maka selayaknya bagi seorang muslim untuk bersemangat melaksanakannya dan berlomba-lomba dalam kebaikan secara umum.

Maka tiada jalan lain ke arah tersebut (perbaikan kondisi ummat), kecuali jalan ini (mengamalkan sunnah), yang dengannya akan tumbuh generasi sunnah, yang dalam jiwa-jiwanya telah tertanam kecintaan terhadap agama, suatu kecintaan yang akan melemahkan kecintaan pada yang lain, seperti kecintaan terhadap diri sendiri, harta dan anak, sehingga siaplah jiwa-jiwa itu untuk menerima semua kebaikan dan sikap dermawan dengan semua yang dimilikinya untuk menolong agama Allah ini.

Kewajiban Memperhatikan dan Mementingkan Sunnah

Sesungguhnya perkara yang paling pantas untuk dijadikan perhatian oleh seorang muslim dan yang paling utama waktunya dicurahkan di dalamnya ialah beramal di atas petunjuk Nabi dan mewujudkannya di dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan kemampuannya.

Hal itu disebabkan oleh tujuan akhir seorang mukmin adalah mendapatkan hidayah (petunjuk) yang dapat mengantarkannya ke negeri kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Jika kalian mau mentaatinya (Nabi) pasti kalian akan mendapat petunjuk.” (An-Nur:54).

Dan firman-Nya yang lain:

“Dan ikutilah ia agar kalian mendapat petunjuk.” (Al-A’raf:158).

Juga firman-Nya:

“Sungguh pada diri Rasul terdapat suri tauladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap perjumpaan dengan Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab:21).

Dan ayat ini, sebagaimana telah dikatakan oleh Ibnu Katsir adalah pijakan utama dalam meneladani Rasul baik dalam perkataan, perbuatan dan kehidupannya. Keteladanan ini hanya akan dijalani dan dicocoki oleh orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir saja.

Sesungguhnya apa yang ada pada dirinya, berupa: keimanan, rasa takut kepada Allah, harapan mendapat pahala-Nya serta takut akan ‘adzab-Nya, akan mendorongnya meneladani Rasulullah. (Tafsir As-Sa’di 6/209).

Kemuliaan dan kedudukan seorang mukmin hanyalah diukur dengan sikap ittiba’-nya kepada sunnah Rasulullah, semakin tinggi semangatnya terhadap sunnah, semakin tinggi pula derajatnya. Oleh karena itu, para ‘ulama terdahulu dari kalangan salafush-shalih menentukan ukuran bagi orang yang bisa diambil ilmunya -sesuatu yang paling mulia untuk diambil-, adalah dengan seberapa kuat dia memegang sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha`i: “Mereka, para salaf, jika mendatangi seseorang yang akan diambil ilmunya, terlebih dahulu melihat: bagaimana shalatnya, sunnahnya serta tingkah laku dan penampilannya. Setelah itu, baru mereka mengambil ilmunya.”

Di dalam risalah Al-Qusyairiyah (1/75) karya Dzinnun Al-Mashri, dia berkata: “Termasuk tanda bagi seseorang yang mencintai Allah adalah bahwa dia mengikuti kekasih Allah dalam akhlaq, perbuatan dan perintah-perintah serta sunnah-sunnahnya.” Pernyataan ini benar-benar diambil dari Kitabullah. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran:31).

Berkata Al-Hasan Al-Bashri: “Tanda kecintaan mereka kepada Allah adalah sikap ittiba’ mereka kepada sunnah Rasulullah.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya 2/204, Ath-Thabari 3/232 dan Al-Laalika`’ 1/204)

Para ‘ulama rabbaniyyin di sepanjang masa selalu seragam dan menonjol dalam memberi semangat untuk beramal dengan sunnah sesuai makna yang asli -lihat kembali makna “sunnah” di atas-. Baik dengan pengarahan, pengajaran maupun tulisan-tulisan mereka. Dan dengan keutamaan Allah serta kesungguhan yang tercurah ini, telah menghabiskan waktu dan tenaganya, dihadapinya mara bahaya dengan penuh susah payah. Ditempuhnya jalan yang diliputi kesulitan serta kemudahan, hingga sampailah As-Sunnah kepada kita dalam keadaan terlindungi, terjaga dan terpenuhinya kebutuhan (akan sunnah), agar kita dapat mempelajari, berhubungan serta menyeru kepadanya dengan sepenuh daya upaya yang ada.

Senantiasa di sepanjang masa -dengan memuji Allah dan taufiq serta pertolongan-Nya- ada sekelompok manusia yang mengarahkan perhatian dan kemauannya serta membesarkan anak-anaknya di atas perhatian yang besar terhadap sunnah nabawiyyah. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara yang sedikit ataupun yang seluruhnya diambil, sebagaimana telah digariskan oleh Nabi dengan ketentuan yang syar’i yang tercantum dalam hadits shahih:

“Apabila aku perintah kalian untuk melaksanakan sesuatu, maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah).

Mereka menyeru untuk berpegang kepada sunnah dan selalu berada di atasnya, baik secara keseluruhan maupun terperinci. Dan mereka juga mengingkari orang yang menyimpang dari jalan tersebut, bagaimanapun bentuk penyimpangannya. Merekalah orang-orang yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah Al-Hakim: “Suatu kaum yang menempuh jalan orang-orang shalih serta mengikuti atsar orang salaf yang telah lampau. Mereka kalahkan para ahli bid’ah, orang-orang yang menyimpang dari jalan sunnah Rasulullah. Akal-akal mereka dipenuhi dengan kelezatan sunnah dan hati-hati mereka penuh dengan keridhaan dalam segala keadaan. Mempelajari sunnah adalah kesenangan mereka dan majlis-majlis ilmu adalah kesukaan mereka. Dan ahli sunnah tanpa kecuali, adalah saudara-saudara mereka. Dan orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran serta ahli bid’ah seluruhnya adalah musuh-musuh mereka.” (Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits hlm. 4)

Akan tetapi, kelompok ini -yang mendapat pertolongan dan keselamatan (firqatun najiyah)- pada setiap masa tidak terlepas dari orang bodoh atau pengikut hawa nafsu yang membuat berbagai macam tipu daya, mencanangkan permusuhan dan melekatkan dengan kedustaan yang sangat besar kepada mereka.

Terkadang mereka mencerca orang yang menjalankan sunnah dengan julukan memecah-belah persatuan kaum muslimin! Demi Allah mereka telah berdusta. Cercaan itu terkadang dalam bentuk umpatan dan celaan kepada orang yang mendalami sunnah nabawiyyah melalui penelitian, penetapan, perbuatan dan dakwah, yaitu -ucapan para penentang sunnah- di bawah kaidah pembagian agama kepada perkara juz`iyyat (cabang) untuk mencela orang yang mendalami masalah ini dan kepada perkara kulliyyat (ushul) untuk mencela orang yang tidak ada perhatian padanya.

Akan tetapi pembagian tadi telah dibantah oleh para ‘ulama baik dahulu ataupun ‘ulama jaman sekarang. Di antara ‘ulama jaman dahulu adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang berkata: “Adapun pemisahan antara satu macam penamaan: masalah-masalah ushul dengan macam yang lain dengan penamaan: masalah-masalah furu’, maka ini pemisahan yang tidak ada asalnya, tidak dari para shahabat dan tidak pula dari tabi’in serta tidak pula dari para imam Islam. Pembagian ini tidak lain diadopsi dari kelompok Mu’tazilah dan yang seperti mereka (dari kalangan) ahli bid’ah.” (Al-Masa`il Al-Maaridiniyah hal.788).

Sedangkan dari kalangan ‘ulama sekarang yang membantahnya adalah Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Imam Muhadditsul ‘Ashr (Muhaddits jaman ini) Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Rahimahullahu Ta’ala, dalam pembicaraannya dengan salah seorang anggota Jama’ah Hizbiyyah Islamiyyah. Beliau berkata:

“Yang kami ketahui, bahwa semua da’i-da’i Islam pada saat ini selain yang berintima’ -kepada manhaj salafush shalih- membagi Islam kepada ushul dan furu’ -dan sebagaimana yang telah kami katakan tadi: mereka membagi Islam kepada isi (bagian dalamnya-pent.) dan kulit (bagian luar Islam-pent.).” Jaman sekarang ini merupakan jaman yang di dalamnya terjadi kemelut yang membinasakan kaum muslimin, sehingga mereka semakin dijauhkan dari Islam, sekiranya mereka ingin mendekatinya.

Sekarang -dengan tsaqofah yang anda punyai dan ilmu yang saya miliki-: Tidaklah kita akan mampu untuk membedakan mana yang ushul dan mana yang furu’, kecuali bila yang dimaksud dengan ushul adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ‘aqidah saja dan tidak ada kaitannya dengan perkara hukum. Dengan begitu, amalan shalat yang merupakan rukun kedua tidak masuk dalam masalah ushul, akan tetapi merupakan bagian furu’ atau cabang. Mengapa demikian? Karena ia tidak punya kaitan dengan ‘aqidah secara murni. Pembagian seperti ini sangat membahayakan sekali. Kalau kita anggap benar pembagian ini, yaitu uhsul adalah masalah ‘aqidah yang tidak boleh berselisih tentangnya, siapa yang menyelisihinya berarti kafir sedangkan furu’ adalah masalah hukum, yang setiap orang boleh berselisih di dalamnya. Sekarang kita ambil contoh masalah shalat fardhu -yang menurut mereka termasuk furu’-. Semua kaum muslimin sepakat tentang kewajiban shalat fardhu tersebut dan barangsiapa yang mengingkarinya maka dia telah kufur walaupun hal ini termasuk masalah ahkam, yang tentunya hal ini sangat bertentangan dengan pengertian mereka tentang furu’. Contoh kedua adalah masalah apakah Rasulullah melihat Allah di dunia atau tidak? Ini termasuk perkara ‘aqidah, akan tetapi tidak ada satu ‘ulamapun yang mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Dari dua contoh ini, tampak jelas bathilnya pembagian agama ke dalam uhsul dan furu’.

Untuk itu, aku mengetahui, bahwa sebagian jama’ah dahulu menyerukan untuk mengadopsi (mengambil) Islam secara keseluruhan. Dan ini merupakan dakwah yang benar. Karena Islam sebagaimana datang kepada kita yang wajib kita adopsi (ambil).

Akan tetapi dari sisi amaliyah: mungkin saja seseorang secara individu misalnya, atau kelompok hanya mampu untuk menjalankan satu sisi saja, tapi tidak mampu untuk menjalankan sisi yang lain. Akan tetapi dari segi pemikiran: Al-Islam wajib untuk diadopsi secara total, tidak dibagi-bagi (dipetak-petak) misalnya: fardhu, sunnah, mustahab, mandub,?dan seterusnya. Jangan kita katakan: “Ini hanya perkara mandub tidak ada nilainya, ini mustahab tidak penting?, cukup bagi kita yang fardhu-fardhu saja.” Tidak demikian, kita menyeru kepada Islam secara keseluruhan dan selanjutnya setiap individu mengambil dari apa yang dapat membangkitkan dan yang mampu untuk dilaksanakan.” (lihat kembali tafsir surat Al-Baqarah:208 di atas).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Nabi, mengamalkannya, berpegang teguh dengannya serta membelanya dari para penentang dan musuh-musuhnya. Amin Ya Mujiibas Saa`iliin. Wallahu a’lamu bish shawaab. {Untuk lebih jelas bisa meruju’ kepada kitab “Dharuuratul Ihtimaam Bis Sunnanin Nabawiyyah” karya Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas Alu ‘Abdil Karim}

[Sumber Buletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi ke-36 Tahun ke-1 / 22 Agustus 2003 M / 23 Jumadits Tsani 1424 H]

8 Agustus 2009 Posted by | manhaj | Tinggalkan komentar

Artikel Islam

Mengapa Harus Bermanhaj Salaf?

Penulis : Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari

Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya.
Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367).

Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).

Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya.
Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka  atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: (golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) bagi apa yang diperselisihkan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:
– Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.
– Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.
– Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79).
Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:
1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.
3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.
4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:
1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).
2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil melalui kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).
3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).
4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil melalui kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)
5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149).
Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=82

8 Agustus 2009 Posted by | manhaj | Tinggalkan komentar